KHONGHUCUISME AGAMA
BESAR BAGI UMAT MANUSIA
(Confucianism,
The Great Religion of Mankind, by: Tienzen (Jeh-Tween)
Gong (龔天任), 1994)
Abstrak :
Tidak hanya sebagian besar orang Barat yang memandang Khonghucuisme sebagai
suatu falsafah, bukan agama, namun banyak orang Tionghoapun (baik di masa lalu
dan masa kini) berpandangan demikian. Namun dalam 2000 tahun belakangan ini,
tak ada satu agama asing (luar) manapun yang sungguh-sungguh sanggup
menaklukkan kebudayaan Tionghoa. Kini tidak ada agama Buddha di India, tempat lahirnya
agama ini. Meskipun terdapat banyak kuil Buddhis di Tiongkok, namun sembilan
puluh persen daripada masyarakat yang dikenal sebagai Buddhis ini juga
melakukan persembahyangan dalam bentuk tradisi Tionghoa. Alih-alih menaklukan
kebudayaan Tionghoa, Buddhisme malahan telah mengalami pen-Tionghoaan. Dalam
kurun 300 tahun lalu, sebagian besar orang Barat menganggap bahwa manusia
Tionghoa bukanlah orang yang religius. Kini, banyak ahli teologi menganggap
bahwa di dunia ini orang Tionghoa pada kenyataannya adalah orang yang amat
religius. Akan tetapi, Tuhan yang bagaimana yang
disembahyangi oleh orang Tionghoa? Makalah ini akan memberikan jawaban yang
tuntas.
I. Sejarah Singkat.
Buddhisme
tidak lagi merupakan agama yang hidup/berkembang di India. Orang Tionghoalah
yang memelihara Buddhisme aliran Mahayana dalam tradisi kehidupannya. Banyak
kitab Mahayana diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa oleh Kumarajiva (344-431
M), seorang tokoh yang terdidik di Afghanistan. Takkala kemasyurannya sebagai
seorang sarjana kitab-kitab mencapai halaman istana Tiongkok, pemerintah dengan
sengaja/tertulis merencanakan penculikannya. Ia lalu dibawa ke
ibukota Cháng-ān (長安) pada tahun 402 M, dan di sana beliau
dihargai dengan gelar guru pembimbing nasional. Juga pada era tahun
600-an M, ketika suku bangsa asli Inggris dan Jerman masih belum menjadi
Kristen, seorang biarawan Nestorian Alopen tiba di kota Chang-an. Ia diterima
dengan terhormat oleh Kaisar kedua dinasti Táng (唐) yakni Kaisar Táng Tàizōng (唐太宗 atau Lǐ
Shìmín 李世民, 599 M -- 649 M, pen). Sebuah biara kemudian dibangun untuknya yang
kemudian diikuti oleh pembangunan biara-biara lainnya di mana-mana.
Kedua
kejadian bersejarah di atas memperlihatkan kepada kita dua kenyataan, yakni
bahwa: tidak saja orang Tionghoa bertoleransi terhadap bermacam-macam agama,
akan tetapi mereka juga rindu akan kebenaran agama-agama. Pada tahun 1692
kaisar keempat dinasti Qīng (清) yakni Kaisar Kāng Xī ( 康熙, 1654 M
--1722 M, pen) juga mengeluarkan suatu dekrit tentang toleransi bagi Kekristenan.
Di lain
pihak, di Roma pada tahun 1700-an, Pope (Paus) Clemet XII melarang orang
Tionghoa Kristen untuk menghormati leluhurnya serta kepada Kǒngzi (孔子). Pada tahun 1701, Kaisar Kāng Xī mengirim utusan khusus ke Roma untuk mengklarifikasikan bahwa
di Tiongkok Kǒngzi dihormati bukan sebagai dewa melainkan sebagai seorang
guru, sedangkan penghormatan kepada leluhur adalah merupakan peringatan
bukanlah suatu tindakan pemujaan.
Pada
tahun 1710, akibat keberatan kepadrian/kependetaan Tionghoa wakil Paus serta
oleh kaum Jesuit kepada Paus, maka suatu badan penyelidikan di Roma
mengeluarkan lagi dekrit baru dalam rangka melarang ritus-tata cara beribadah
orang Tionghoa Kristen, dengan kata lain pihak Roma melarang orang Tionghoa
Kristen untuk menjadi/beradat-istiadat Tionghoa (inilah pandangan kaum
Dominikan yang disetujui Paus, pen). Sebagai reaksinya, pada tahun 1717
sembilan penguasa pengadilan tertinggi di Tiongkok melancarkan aksi pengusiran
terhadap para misionaris, pengasingan Kekristenan, perusakan gereja, dan
pemaksaan kepada rakyat agar menjauhi keyakinan Kristen. Pada tahun 1939 (jadi
nanti setelah 200 tahun lebih, pen), barulah Pius XII akhirnya mengeluarkan
dekrit dalam mentoleransi kegiatan orang Tionghoa melakukan penghormatan kepada
leluhurnya. Namun, hal ini kiranya sudah terlambat.
Mengapa ? Setelah 1300 tahun sejak pertemuan
pertama orang Tionghoa dengan orang Kristen Nestorian, ternyata hanya ½
(setengah) % orang di daratan Tiongkok yang memeluk agama Kristen. Akan tetapi,
ketidak-beruntungan Kekristenan di Tiongkok tidak seluruhnya dikarenakan oleh
tindakan pemerintah komunis yang pada tahun 1950-1951 telah mengeluarkan para
misionaris asing. Argumen ini didukung pula oleh kasus yang terjadi di Táiwān (台灣). Walaupun adanya penyusupan orang dalam jumlah yang besar,
juga uang dan waktu yang dihabiskan, serta meski adanya kegiatan para
misionaris yang tak terbendung selama 40 tahunan, ternyata hanya 3 (tiga) %
orang Táiwān yang
menjadi Kristen, itupun sebagian besar populasi orang Kristen Táiwān itu adalah dari penduduk asli/aborigin
(pen: bukan etnis asli Tionghoa).
Jadi
faktanya adalah: kekristenan telah secara menyedihkan gagal berkiprah di
daerah/area yang telah mengalami proses pen-Tionghoaan (antara lain juga
Jepang, Korea, Singapura, dan di daerah-daerah yang memiliki komunitas Tionghoa
perantau). Jadi keadaan politik bukanlah faktor utama yang menyebabkan
kegagalan mereka pada daerah-daerah yang telah mengalami pen-Tionghoaan
tersebut, akan tetapi yang lebih utama disebabkan karena cara kerja mereka.
Selama
400 tahun, kebanyakan para sarjana yang mengkhususkan dirinya dalam suatu atau
beberapa aspek kebudayaan tradisional Tionghoa kemudian memberikan suatu
jawaban singkat atas kegagalan di atas, yakni bahwa orang Tionghoa tidak religius.
Pada
tahun 1958, empat orang sarjana Tionghoa mengeluarkan suatu Manifesto
untuk Penilaian Kembali Bidang Ilmu Ketionghoaan dan Rekonstruksi Kebudayaan
Tionghoa, mereka kemudian menegaskan bahwa Khonghucuisme memang memiliki
dimensi religius, walaupun mungkin tidak dapat disebut sebagai agama
asli/murni. Banyak sarjana Barat bahkan menertawakan penegasan itu. Baru pada
beberapa tahun belakangan sajalah terlihat bahwa beberapa ahli teologi Barat
mulai mengakui bahwa kebudayaan Tionghoa (apapun bentuknya) merupakan sistem
sungai religius besar di samping aliran Nubuat-Kristen dan Kebathinan-India
(dan Islam tentunya, pen). Akan tetapi mereka (ahli Teologi Barat) tetap
tak dapat menentukan pada titik mana sungai itu berada,
apalagi sampai memahami/mengetahui seberapa dalam dan lebar sungai itu.
II. Apakah Agama itu ?
Kekeliruan
para sinolog Barat adalah karena mereka berusaha menggunakan istilah-istilah (terms)
Barat untuk menjelaskan konsep orang Tionghoa. Hal ini sama saja dengan berusaha
menjelaskan keseluruhan sistem matematika dengan not-not musik. Jika ini
dilakukan maka mereka tentu akan sangat heran ketika menemukan/melihat bahwa
sistem matematika tidak sanggup dijelaskan dengan not-not musik. Kemudian
mereka akan menegaskan suatu penemuan besar bahwa keseluruhan
sistem matematika itu tidak memiliki substansi/hakekat.
Bagi
orang Barat, setiap agama paling tidak harus memiliki tiga dari empat komponen
sebagai berikut:
1. Tuhan
sang pencipta,
2. Institusi/lembaga
yang terlihat (berupa: kuil, gereja, kependetaan, dlsb.),
3. Kumpulan
orang percaya dan yang diakui/dikenal,
4. Beberapa
pengetahuan esoterik (diketahui secara terbatas oleh beberapa orang saja, pen)
tentang nubuat atau kegaiban, yang tak dapat diuraikan (dijangkau) oleh ilmu
pengetahuan.
Dengan
definisi di atas, mereka kemudian dengan yakinnya menyebut Buddhisme sebagai
Atheis. Kemudian juga, dengan tanpa pemahaman yang cukup terhadap Taoisme,
mereka menyebut Taoisme sebagai Pantheisme (singkatnya menganggap alam sama
dengan Tuhan, pen). Dan lagi-lagi, tanpa pengertian yang benar tentang
Khonghucuisme, mereka dengan terlalu berani mencapnya sebagai suatu humanisme
belaka (falsafah tentang kemanusiaan saja, pen) bukan agama.
Kalau
begitu bagaimanakah definisi agama itu ?
Tiap agama harus memiliki tiga komponen
berikut ini:
1. Pencipta
yang melahirkan (atau: suatu teori kosmologi (teori asal usul Jagat Raya) yang
menjelaskan kemunculan/ kelahiran dari:
- Alam
semesta,
- Kehidupan
makhluk hidup/biologi,
- Akal
sehat/intelegensi/kecerdasan, (walaupun kisah tujuh hari penciptaan dunia dalam
kitab Kejadian Kristen secara utuh tidak dapat diterima oleh ilmu
pengetahuan/akal sehat, akan tetapi oleh orang Barat hal itu tetap dipakai
sebagai kosmologi/teori penjadian sampai saat ini).
2. Suatu
metafisika yang menjelaskan tentang :
- Hubungan
antara sang pencipta (atau penciptaan itu sendiri) dengan kehidupan manusia,
- Arti/maksud
daripada kehidupan manusia,
- Munculnya
hukum-hukum moral.
3. Ada
sekelompok orang yang hidup dalam jalan/cara hidupnya (mencakup: kehidupan
perorangan, kemasyarakatan atau kepemerintahan) menurut doktrin mereka (yakni ada
penganutnya, pen).
III. Kosmologi (Teori Penjadian) secara
Khonghucu.
Dengan definisi baru di atas, saya dapat
memperlihatkan bahwa Khonghucuisme adalah agama besar bagi umat manusia,
walaupun ia tidak memiliki Tiān /Tuhan yang dikonkretkan/diwujudkan (dalam
Khonghucuisme Tiān (天) dipahami sebagai tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berbicara,
pen) juga walaupun ia tidak memiliki kelembagaan yang nyata (rupanya saat
menulis naskah ini penulis mungkin belum mengenal adanya Matakin dan beberapa
institusi Khonghucu lain, misalnya di Hongkong, Singapura dan Korea, pen).
Khonghucuisme tentu saja memiliki suatu teori kosmologi atau teori penjadian
yang menjelaskan kelahiran alam semesta (jagad raya) serta kehidupan makhluk
hidup. Dikatakan dalam kosmologi Khonghucu: Wújí (無極) melahirkan Tàijí (太極), kemudian Tàijí melahirkan Liăngyí (兩儀,
yaitu Yīn (陰)
dan Yáng (陽)). Yīn dan Yáng melahirkan Bāguà (八 卦, 8 trigram). Selanjutnya 64 Guà (六十四卦, 64 heksagram) tercipta. 64 heksagram ini
melingkupi/mewakili keseluruhan alam semesta.
Istilah-istilah
di atas dipahami oleh orang Tionghoa kuno, namun sayang tidak memiliki arti
bagi orang Tionghoa yang mempelajari ilmu pengetahuan moderen, yakni sains.
Istilah-istilah Wújídan Tàijí itu kurang dapat
terdefinisikan dan tidak memiliki arti saintifik. Maka, pada awal abad 20
(tanhun 1920-an) Khonghucuisme telah dituduh sebagai penyebab kemunduran
Tiongkok juga dituduh sebagai penyebab negara ini tidak mampu mengembangkan
sains. Jika Kosmologi Khonghucu hanya suatu omongan tanpa arti, maka tentu
Khonghucuisme tidak akan menjadi suatu falsafah yang unggul, biarkan ia menjadi
agama saja.
Telah
saya tulis dua artikel untuk membuktikan bahwa:
1.
Teori Wǔxíng (五行, Lima Pergerakan atau Lima Unsur) serupa
dengan teori Fisika Partikel Dasar Moderen. (catatan: sebagian orang tidak dapat
menerima bahwa tori Wǔxíng adalah bagian Khonghucuisme, ini
akan menjadi bahasan tersendiri).
2.
Dengan menggabungkan Bāguà dengan Simulasi
Kehidupan dari John Conway, maka misteri kehidupan makhluk hidup akan dapat
dimengerti.
Untuk pemahanam yang lebih lengkap tenteng
kosmologi Khonghucu Harap membaca dua tulisan saya yang berikut:
·
”Daoism in the Eyes of Modern Physics”
(yang disajikan pada “Association for the Unity and Integration of Knowledge”
di Kanada pada bulan Juni 1995 serta pada suatu Konferensi Internasional
Filsafat Tionghaa yang diadakan bulan Juli 1999 di Táiběi Táiwān),
·
“Laws of Live in Daoism” (diterbitkan
pada bulan Maret 1994).
Melalui pemaparan dalam kedua artikel di atas
kosmologi Wújí dan Tàijí dalam Kitab
Yìjīng (易經) bukan lagi suatu omongan tanpa arti, namun
ia isomorf dengan fisika moderen dan kosmologi moderen. Kosmologi ini tentu
saja adalah kosmologi yang unggul bagi suatu agama besar.
IV. Metafisika Khonghucuisme.
Khonghucuisme memiliki suatu metafisika lengkap yang
dapat menjelaskan arti kehidupan manusia. Kata lengkap di atas bukanlah
dimaksudkan sebagai kebenaran belaka, melainkan bahwa sistem ini adalah suatu
sistem yang utuh/cermat (inggris: closed system), sehingga tidak
menyisakan/menimbulkan pertanyaan (pen: keraguan). Metafisika ini terdiri
dari lima kata (atau konsep) yakni: Mìng (命, lengkapnya Tiān-Mìng 天), Dào (道), Qì (氣), Shù (數 jumlah atau angka dari Qì),
serta mìng (命, lengkapnya Rénmìng 人命).
Tiān (天) memiliki 2 pengertian :
1. Secara
fisik ia menunjukkan langit (inggris : sky),
2. Secara
teologi kata itu menunjuk kepada Tuhan Yang Utuh, Tidak berbentuk, Pemberi
Takdir Yang Maha Cermat, serta Personal/Pribadi. Ketika Yán Huí (顏回, seorang murid utama Kǒngzi) meninggal,
Kǒngzi meratap: ‘Tiān (天) telah meninggalkan saya, Tiān telah mendukakan saya ’, lihat Kitab Lùnyǔ (論 語, pen: yang diterjemahkan sebagai ‘Kitab Sabda Suci’ oleh Matakin).
Ming
memiliki banyak arti :
1. Secara
fisik ia berarti hidup/kehidupan,
2. Secara
teologi ia memiliki dua arti :
- Kehendak
(atau memberikan/menurunkan mandat/kuasa),
- Takdir
atau Nasib.
Tiānmìng berarti Kehendak Tuhan, yang memberikan
kelahiran bagi semua, termasuk di dalamnya xìng (性, sifat asli, watak asli/murni manusia, atau
watak sejati manusia), serta Dào (道).
Dào (道) adalah
prinsip/hukum yang menguasai makrokosmos dan mikrokosmos. Dào ada
di mana-mana, baik transenden (jauh) maupun imanen (dekat). Dalam
Khonghucuisme, Dào lahir dari Tiānmìng. Taoismenya Lǎozi (老子) tidak menyajikan konsep tentang Tiān atau Tiānmìng.
Konsep Ketuhanan Taoisme Lǎozi mengemukakan Tuhan yang
tidak-pribadi, acuh dan apatis. Karena sifat pengabaian/pasif ini, maka tidak
ada gunanya meminta belas kasihan kepada-Nya. Bila kita hidup/bekerja menentang Dào yang
pasif ini, maka kita akan gagal dalam kekecewaan.
Wúwéi (無為)
menjadi titik pusat Taoisme Lǎozi. Banyak sarjana mengartikan Wúwéi secara
harafiah sebagai: tidak berbuat. Sebenarnya Wúwéi tidaklah
berarti tidak berbuat apapun. Bagaimanapun seseorang harus hidup/bergerak,
paling tidak untuk mengunyah makanannya sendiri. Sebenarnya Wúwéi bermakna
janganlah kita melakukan sesuatu untuk menolong/mengusahakan sesuatu (yang
tidak akan berguna) atau bertindak/aktif melakukan sesuatu kerja yang menentang
(yang akan membahayakan) Dào. Walaupun alam semesta yang
dinamis ini bekerja tunduk pada prinsip Dào, tapi Dào itu
sendiri tidak memberikan kehidupan pada alam semesta yang dinamis itu. Alam
semesta yang dinamis ini adalah akibat/hasil kerja dari fenomena (pen :
perwujudan atau gejala alam) Qì (氣).
Qì (氣)
memiliki banyak arti :
1. Secara
fisik ia berarti udara atau napas,
2. Secara
metafisika ia berarti gaya dinamis atau proses dinamis.
Qì memiliki
tiga bentuk :
Dalam bentuk asalnya tetap disebut sebagai “Qì”,
yang bermakna : gaya mengalir yang tak terlihat.Qì ini dapat
mengental/memadat dan menjadi zat/benda (zhì 質)
yang bersifat terlihat dan nyata. Zìyang murni disebut Jīng (精, saripati). Qì dapat
naik dan menjadi Shén (神, spirit/jiwa/roh). Jadi keseluruhan isi jagad raya/alam
semesta ini (baik material maupun spiritual) terdiri dari Jīng (zhì) –Qì – dan Shén.
Apabila ada orang Tionghoa berkata : ‘Ia memiliki Qìzhì (氣質 temperamen/watak, kwalitas) yang
bagus’, hal ini tidak saja berarti memiliki tubuh (zhì) yang indah tapi
ia juga memiliki atmosfir (Qì) yang baik di sekeliling tubuhnya.
Demikian pula kalau dikatakan : ‘Jīngshén (精神 spirit, vitalitas) saya bagus’, hal ini tidak saja berarti tubuh
saya sehat, tapi roh/jiwa saya juga sehat/kuat.
Oleh karena Qì bermakna
gaya dinamis, zat dan roh, maka seharusnya ia dapat diukur dengan suatu
kuantitas atau suatu angka.
Pengukuran daripada Qì ini
dikenal sebagai Shù (數, kuantitas atau angka).
Shù (數)
memiliki dua arti :
1. Secara
matematis ia berarti angka atau kuantitas,
2. Secara
metafisika ia berarti jumlah/nilai dari pada Qì /Daya
Hidup/Spirit/Roh.
Ketika Shù dari Qì (yakni Qìshù)
suatu kehidupan bernilai nol, maka itu berarti kematian. Jika seseorang
memiliki Qìshù yang baik, ia akan memiliki masa depan yang
baik, mungkin juga berarti peruntungan yang bagus. Sehingga andai kita
mengetahui bahwa Qìshù kita bagus, kita akan tahu masa depan
kita bagus pula, inilah yang dikenal sebagai takdir atau nasib.
Qìshù manusia berasal dari dua sumber:
Qì Asal (yakni Yuánqì 元氣) datang bersama kita takkala kita lahir.
Konsepsi Yuánqì daripada
Khonghucuisme dan Taoisme jelas berbeda. Dalam KhonghucuismeYuánqì tak
dapat dilatih/diolah/dibina (Xiū 修, pen)
– artinya: banyaknya Yuánqì ditentukan sejak lahir, dan akan
tetap seperti itu, tidak akan berkurang atau bertambah. Di lain pihak, Lǎozi
bersikeras bahwa Yuánqì dapat dilatih/diolah, sehingga tidak
saja bahwa seorang dapat tetap menjadi muda dengan cara meremajakan ketuaannya,
namun juga seorang dapat mencapai kekekalan/keabadian.
Walaupun dalam Khonghucuisme Yuánqì tak
dapat dilatih/dibina, tapi Qì yang Mengendalikan
Kehidupan Kita dapat dilatih/diolah. Kita dapat mencoba
meluruskan Qì kita dengan Kebajikan-kebajikan Tuhan (Rén Yì
Lǐ Zhì 仁義禮智),
sehingga kemudian manusia dapat mencapai tingkat kebijaksanaan (inggris:
sagehood; bahasa Tionghoa: shèng 聖 kenabian/kesucian, pen).
Dalam
Taoisme Lǎozi, tidak ada paham Tuhan (Tiān)
sebagai pemberi nasib baik serta kehendak-Nya (Tiān-Mìng),
pengikut Taoisme Lǎozi percaya bahwa mereka dapat mencapai keabadian melalui
kultivasi/pengolahan/latihan/peningkatan Yuánqì. Jadi mereka tidak
dapat dihalangi atau dihentikan oleh nasib/takdirnya. Atau dengan kata lain, pengikut
Taoisme Lǎozi dengan sederhana menolak adanya nasib atau takdir dalam diri
seseorang.
Sebaliknya,
oleh karena adanya Tuhan yang ‘personal’ (yakni Tiān), maka
kehendak Tuhan (Tiān-Mìng) akan menentukan nasib dan takdir tiap
orang. Nasib dan takdir pada tiap orang inilah yang disebut mìng (huruf
‘mìng’ yang sama dengan huruf ‘Mìng’ dalam kata ‘Tiān-Mìng’).
Metafisika Lǎozi dalam Taoisme tidak memiliki kepala (yakni Tiān-Mìng,
kehendak Tuhan) maupun ekor (yakni mìng perorangan,
atau takdir/nasib). Di lain pihak sistim Metafisika Khonghucuisme adalah
lengkap/cermat : dari Tiānmìng menuju ke Dào, Dào menuju
ke Qì, Qì menuju ke Shù, lalu Shù menuju
ke mìng. Jadi sistim ini menghubungkan takdir (mìng) setiap
orang itu kembali kepada Kehendak Tuhan (Tiān-Mìng).
Meskipun takdir seseorang tak dapat diubah oleh usaha orang itu sendiri,
namun tiap orang tetap dapat melengkapi hidupnya hingga mencapai taraf
kebijaksanaan (pen: kesucian), dan membuat hidupnya menjadi lebih berarti, tidak saja bagi
dirinya tapi juga bagi umat manusia.
Sejauh
ini amatlah sedikit orang Barat yang pernah mendengar konsep teologi Mìng-mìng,
dikarenakan para sarjana Tionghoapun (dari masa lampau sampai kini) kurang
mengerti akan konsep teologi tersebut. Konsepsi Qì terutama
dihargai dan dipraktekkan oleh para praktisi ilmu beladiri. Sedangkan
konsepsi Shù dan mìng diyakini oleh tiap
orang Tionghoa yang tak
berpendidikan (rakyat kebanyakan, bukan para sarjana-kitab, pen).
Para sarjana-kitab Tionghoa (terdidik) masa lampau mengejek/memandang rendah
konsep Qì, Shù dan mìng. Sedangkan
para sarjana-kitab Tionghoa terdidik masa kini memandang konsep Qì, Shù dan mìng sebagai
ketakhyulan. Akan tetapi bukanlah maksud saya untuk menciptakan teologi
Mìng-mìng ini. Karena sesungguhnya teologi ini dipahami oleh setiap orang
Tionghoa yang tidak terdidik. Walaupun anda tidak akan menemukan teologi Mìng-mìng ini
dalam bentuk buku-tertulis (baik dalam buku berbahasa Tionghoa atau bahasa
lain) serta dalam bentuk doktrin yang terorganisasi, namun konsep ini dapat
ditemui dalam banyak novel/cerita rakyat. Sebagi contoh novel-novel berjudul:
“The Brotherhood in the Marsh” (Shuǐ hǔ Zhuàn 水滸傳, pen), The Dream of a Red Mansion” (Hónglóu
Mèng 紅樓夢, pen),
serta “The List of Ordained gods” ( Fēngshén Bǎng 封神榜 atau Fēngshén Yǎnyì 封神演義, pen).
Konsep Mìng-mìng muncul dalam hampir semua halaman novel “The
List of Ordained gods”. Akan saya tunjukkan hal tersebut pada tiga bagian
cerita dalam novel tadi.
Ketika
kaisar terakhir dinasti Shāng (商, yakni Zhòu Wáng 紂王, pen) berdasarkan tradisi (setelah pelantikannya,
pen) menuju suatu kelenteng untuk menghormati seorang dewi (Dewi Nǚ Wā 女媧, pen), jiwa/roh sang dewi sedang naik ke
langit untuk suatu urusan. Sang kaisar melihat patung sang dewi,
dan timbullah kekaguman yang amat mendalam terhadap kecantikan sang dewi, maka
ditulislah di dinding kuil seuntai sanjak pujian kekaguman bagi sang dewi.
Setelah sang dewi kembali ke kelenteng, dilihatnya sanjak itu dan merasa
terhinalah ia. Sang dewi ingin segera membalas penghinaan itu. Ketika ia naik
awan yang membawanya ke istana sang kaisar, ia melihat bahwa Qìshù sang
kaisar masih begitu besar (masih begitu mampu bertahan berkuasa, pen). Meskipun
sang Dewi memiliki kekuatan gaib yang hebat, namun ia tak sanggup merubah Qìshù sang
raja yang telah diberikan/ditetapkan Tuhan yang Maha Kuasa (Tiān).
Setelah kembali ke kelentengnya, sang dewi kemudian merencanakan untuk
menguras Qìshù sang kaisar, namun ia tetap tak mampu mencapai
itu. Kejadian ini merupakan awal kisah novel itu.
Pada
bagian pertengahan novel itu, para pembaca secara perlahan-lahan akan menyadari
bahwa seluruh alur cerita sang dewi ternyata telah ditulis dari semenjak jaman
yang lama sekali oleh tiga patriak/tiga pemimpin (yang berasal dari tiga
aliran/pendidikan yang berbeda,--> sān jiàozhǔ 三教主, pen). Tindakan spontan yang dilakukan dengan bebas baik oleh kaisar
maupun oleh sang dewi, merupakan hal yang tak terelakkan oleh/akibat dari
takdir mereka. Pada suatu sisi, keseluruhan isi cerita novel itu
dimainkan di masa itu dengan bebasnya oleh ratusan pemeran/karakter, namun pada
sisi lainnya, semua mereka yang berperan, ternyata mengikuti tulisan/naskah
yang sudah ada, kata demi kata, koma demi koma dan masa demi masa.
Tapi pada bagian akhir novel itu, suatu keganjilan terjadi,
yaitu bahwa ternyata ketiga patriakpun tertarik/masuk kedalam konflik yang
terjadi dalam cerita itu. Mereka tidak lagi merupakan penulis naskah atau
sutradara cerita, melainkan juga sebagai aktor cerita itu. Mereka tak dapat
lagi sanggup mengarahkan/menentukan kejadian apa yang selanjutnya bakal
terjadi.
Novel
yang sangat populer itu dengan jelas menunjukkan kepada kita ketiga konsep
teologi yang penting dalam Khonghucuisme, yakni :
1. Teologi Mìng-mìng,
yaitu takdir semua orang ditentukan oleh Kehendak Tuhan.
2. Setiap Para
Suci (dewa, dewi atau patriak), yang dapat
dibayangkan/diciptakan oleh pikiran manusia sehingga mereka memiliki
gambar/image, tak peduli seberapa hebat kekuatan bathin/gaibnya, semuanya tak
dapat menentukan takdirnya. Ini berarti mesti ada Tuhan Yang Maha Kuasa yang
berada di atas semua para suci ini.
3. Oleh
karena takdir manusia hanya berada dalam tangan Tuhan Yang Maha Pemurah, sang
pemberi takdir, dan tak dapat diatur atau diarahkan oleh siapapun (baik ia
hidup maupun mati), maka masa depan umat manusia tetap merupakan kemungkinan
tidak menentu.
V. Timbulnya Kebaikan dan Kejahatan.
Sebelum
kita dapat membahas bagaimana kebaikan dan kejahatan itu timbul, pertama-tama
kita harus memahami apa kebaikan dan kejahatan itu. Aristoteles dan
para pengikutnya mengatakan bahwa kebahagiaan adalah baik. Tapi apakah
kebahagiaan itu? ‘Kebahagiaan adalah kesenangan‘ kata mereka. Kemudian mereka
membedakan/memisahkan antara kesenangan tingkat rendah dan kesenangan tingkat
tinggi. Kesenangan intelek lebih diinginkan daripada kesenangan ragawi
(sensual). Tapi, bagaimanakah menentukan apa yang lebih diinginkan itu?
Seseorang yang gemar mengejar kesenangan ragawi, yang bahkan sampai melukai
kesehatannya, akan mengatakan bahwa kesenangan ragawi lebih baik, sehingga akan
terus mengorbankan kesehatannya sendiri dalam mengejar kesenangan ragawi
baginya itu. Terhadap hal demikian, bagaimanakah kita memberikan argumen/alasan
yang rasional untuk menjelaskan bahwa ia memiliki pandangan yang salah? bagaimana
kita dapat menjelaskan kepadanya bahwa kesehatan itu lebih baik daripada
kesenangan ragawi?
Para konsekuentialis membedakan
antara “baik sebagai tujuan” dengan “baik sebagai cara/alat”, atau dengan kata
lain “baik yang hakekat” dengan “baik yang semu”. Sehingga kesenangan ragawi
hanya baik secara semu tapi pada hakekatnya buruk. Tapi di sinipun muncul
pertanyaan, bagaimana kita membedakan dan menentukan bahwa sesuatu itu memang
merupakan hakekat atau hanya semu? Kebaikan itu berhubungan dengan sekumpulan
sifat-sifat, namun tidak ada satupun sifat-sifat ini yang perlu atau cukup bagi
kebaikan.
Agustinus
muncul dengan ide lain. Dengan kepercayaan dogmatisnya tentang Tuhan itu
sempurna, ia menyimpulkan bahwa tidak mungkin ada kejahatan/setan manapun. Ia
memberikan dua alasan, pertama: semua yang dalam pandangan manusia
adalah jahat, ternyata memang adalah baik, terutama di mata Tuhan. Sebagai
contoh: kalajengking tak saja sering membunuh/menyengat binatang tapi juga
manusia, maka manusia akan menilai ia jahat. Tapi bagi sesama mereka ia baik.
Kalajengking jantan baik bagi betina, dan sebaliknya. Kedua: ia
berpendapat bahwa semua kejahatan adalah perusakan/perubahan dari
sesuatu yang baik. Pertanyaan yang tibul dari sana adalah: apakah
yang dimaksud dengan perusakan itu? bagaimana perusakan bekerja?
Kebanyakan
sarjana Tionghoa membicarakan kebaikan dan kejahatan dengan berlandaskan
pada Xìng (pen: 性 sifat alamiah manusia, watak sejati manusia). Mèngzi (孟子, 372-289 SM) menegaskan bahwa watak sejati
manusia itu baik adanya, sementara Xúnzǐ (荀子, 312-238 SM) bersikeras bahwa watak sejati manusia itu buruk.
Doktrin kedua tokoh ini mencerminkan dua kutub ekstrim ajaran Raja Yáo (Táng
Yáo 唐堯,
kira-kira 4000 tahun lalu). Raja Yáo bersabda kepada penerusnya,
Raja Shún (Yú Shún 虞舜, pen: memerintah tahun 2255 SM -- 2205 SM): ”Hati manusia senantiasa
dalam keadaan goyah/tak stabil, hati Dào (Moral Idaman)
sangatlah seksama/teliti. Ini berarti, Watak Sejati memiliki kedua benih kebaikan
maupun kejahatan. Namun benih itu sendiri tidak akan berubah
menjadi baik atau jahat.
Proses
apakah yang memungkinkan timbulnya kebaikan dan kejahatan dari kemungkinannya
(potensinya) itu ? Proses ini merupakan titik pusat kajian Kitab Yìjīng (易經, kitab Perubahan). Kata ‘Yì’ dalam frasa Yìjīng memiliki tiga arti :
1. Sederhana,
mudah, gampang,
2. Berubah,
beralih, berganti,
3. Tidak
berubah (tidak bervriasi).
Mungkin anda heran dan kaget, bagaimana
mungkin satu kata memiliki makna yang betentangan pada saat yang sama ? tapi
ya..… , hal itu memang terjadi (eksis) dalam bahasa Tionghoa.
Kitab
Yìjīng
memandang dunia ini memiliki 2 (dua) bagian, yakni: suatu struktur
kekal tak berubah (1) yang dilingkupi oleh suatu fenomena/gejala
dinamis yang senantiasa berubah (2). Kebanyakan ahli Yìjīng menggambarkan Bāguà (八卦 8
trigram) dalam susunan Yīn (陰 garis terputus) dan Yáng (陽 garis utuh). Ini baru setengah benar.
Setiap Trigram memiliki tiga posisidimana garis Yīn atau Yáng duduk.
Kedudukan dan hubungan/pertalian daripada kedudukan ini adalah
tetap, selamanya tidak berubah. Akan tetapi apakah suatu garis Yáng atau
suatu Yīn yang duduk, itu selalu berubah-ubah. Dengan jalan yang sama,
terdapat kedudukan dan cara yang wajar untuk menduduki suatu posisi dalam
masyarakat. Sebagai contoh, ketika seorang jendral memenangkan suatu pemilihan
untuk menduduki kursi presiden, maka ia melakukan hal yang baik. Namun jika ia
melancarkan suatu kudeta untuk menjadi presiden, maka ia telah melakukan hal
yang buruk, bahkan hal yang jahat. Kursi kepresidenan itu sendiri tidaklah baik
atau jahat. Tapi bagaimana cara seorang mendapatkan kursi
itulah yang menentukan apakah tindakannya baik atau jahat. Jadi, walaupun tidak
ada baik atau jahat pada kursi yang kekal tak berubah ini (stuktur).
Kebaikan atau kejahatan itu muncul dari wajar/layak atau tak
wajar/layaknya cara mendapatkan kursi itu.
Dalam
Khonghucuisme, walaupun Xìng (sifat asli manusia, watak
sejati) memiliki benih baik dan buruk, dan di sanalah hubungan yang wajar atau
tak wajar yang melahirkan kebaikan dan kejahatan terjadi, akan tetapi
bagaimanapun Khonghucuisme dengan begitu kuatnya menekankan untuk memelihara
suatu tata-cara yang wajar dalam kehidupan manusia.
VI.
Mandat Langit / Kehendak (Perintah) Tuhan.
Dengan
menggabungkan teologi Mìng-mìng dengan doktrin moral
menduduki kursi di atas, hasilnya adalah konsep Tiān-Mìng (Mandat
Langit/Kehendak Tuhan). Untuk memiliki suatu masyarakat yang baik-sempurna,
cara duduk yang wajar/layak dalam semua aspek kemasyarakatan harus ditegakkan
atau diatur oleh seseorang. Siapakah satu-satunya orang yang yang dapat
menerima/memikul tanggung jawab yang amat agung ini ? Ia bukanlah orang
sembarangan, namun haruslah seorang yang dipilih/diangkat dan ditugaskan oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa (Tiān). Lama periode pemerintahannya tergantung
pada seberapa banyak Qìshù yang diterimanya dari Tuhan. Ketika
dia berbuat baik kepada rakyat, Qìshù-nya bertambah, kalau dia
berbuat sebaliknya, Qìshù-nya merosot. Ketika Qìshù politisnya
habis, maka masa kehidupan politisnyapun berakhir. Karena pemimpin orang
Tionghoa dipilih oleh Tiān, maka hanya Tiānlah
yang dapat mengadili prestasinya atau bahkan mengganti pemimpin tersebut dari
posisinya.
Namun bagaimanakah Tiān melaksanakan/melakukan
pekerjaan ini? Tentu saja melalui hati dan kehidupan manusia (bukan melalui
tangan dan mulut). Orang Tionghoa sangat meyakini bahwa hanya darah seorang
yang benar/budiman yang dapat menaklukkan/mengalahkan perbuatan jahat,
hanya darah orang yang benar/budiman yang dapat menghabisi Qìshù seorang
penguasa yang jahat/tiran.
Dalam
sejarah orang Tionghoa, terdapat banyak tokoh terkenal yang mengorbankan
hidupnya untuk memperbaiki/meluruskan kesalahan penguasa (misalnya
Qū
Yuán 屈原, Guān Yǔ 關羽,Yuè Fēi 岳飛, dll., pen). Bagi orang Tionghoa
bicara itu mudah/biasa, sedangkan hidup itu berharga/mulia. Bila seseorang
benar-benar memiliki sesuatu untuk dikatakan dalam dunia
politik, katakanlah itu dengan kehidupan. Sehingga amat sedikit orang di
Tiongkok yang bersimpati kepada seseorang seperti Wèi Jīngshēng ( 魏京生 seorang Tionghoa pembangkang-prodemokrasi yang pernah dipenjarakan
pemerintah Tiongkok, karena menjelek-jelekkan Tiongkok ke dunia luar dengan
isu-isu HAM, pen). Jika Wèi memang berada dalam kebenaran,
itulah harga yang harus dibayar, dan harga yang dibayarnya itu pada gilirannya
akan mengurangi Qìshù penguasa Tiongkok. Namun Bila Wèi seorang
oportunis (yang hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, pen), maka
-pemenjaraan- itu merupakan hukuman yang memang pantas bagi Wèi.
Sangat
jelas, orang Tionghoa 100 % percaya akan Tuhan dan Tuhanlah yang akan
meluruskan semua ketidak-adilan. Orang Tionghoa tidak mau saling
menyalahkan/menghakimi. Ketika negara-negara luar turut campur dan menghakimi
orang Tionghoa, maka orang Tionghoa akan segera melihat/berpikir: bagaimana
mungkin negara luar ini lebih tahu persoalannya daripada dirinya sendiri.
Tentunya orang Tionghoa tak akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa ia kurang
mengenal urusannya sendiri dibandingkan orang lain. Lantas akan jelaslah baginya
bahwa kemungkinan orang luar ini memiliki maksud-maksud yang tak dapat
diperkirakan. Jadi ketika negara-negara luar mempersalahkan pemerintah Tiongkok
dengan isu-isu hak asasi, maka negara-negara asing ini akan mendapatkan efek
baliknya. Kebanyakan orang Tionghoa akan mendukung pemerintahnya untuk
menangkis/menolak maksud-maksud jahat negara-negara luar.
Jadi,
aksi-aksi negara-negara lain seperti itu, paling tidak malah hanya akan
memperbesar Qìshù pemerintah Tiongkok, dan kalau ditinjau lebih
jauh, sebenarnya tidak ada seorangpun yang dapat membenarkan/memperbaiki
kejahatan atau menyalahkan kebenaran pihak lain, sang pelaku sendirilah yang
akan berhadapan dengan akibat perbuatannya itu.
VII. Lembaga yang Tidak Nampak.
Tidak
ada gereja atau kuil yang nampak/terorganisir dalam Khonghucuisme (sekali lagi
mungkin saat menulis tulisan ini penulis belum mengenal, -atau belum mau
mengakui?-, Matakin dan atau organisasi Khonghucu lainnya di Hongkong,
Singapura dan Korea, pen). Gereja Khonghucu
adalah struktur moral yang menitik-beratkan/bertumpu pada lima hubungan (Wǔlún 五倫) yakni : pimpinan dan pembantu, orang tua
dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, serta kawan dan sahabat. Tiga
hubungan tadi berada dalam keluarga. Sehinggga dapatlah dikatakan Khonghucuisme
hanya memiliki satu gereja (yakni pemerintah)
serta jutaan kuil ( pada
tiap keluarga). Keseluruhan orang Tionghoa percaya pada teologi Mìng-mìng dan hidup berlandaskan
pada doktrin moral menduduki kursi, seperti yang dibahas di atas.
VIII. Alasan-alasan Mengapa Kekristenan Gagal
di Tiongkok.
Secara
teologi, banyak titik pandang dalam dogma Kristen yang berjalan bertentangan
dengan mentalitas (pikiran bawah sadar kolektif) dan cara hidup orang Tionghoa.
Saya akan tunjukkan dua yang paling nyata:
Pertama : Orang Tionghoa memang menciptakan banyak dewa (tiga patriak,
kaisar langit, dan lain lain). Semua dewa ini dapat berwujud, artinya dapat
mempunyai bentuk/imej/wujud. Akan tetapi semua dewa ini berada - paling tidak-
satu tingkat di bawah Tuhan (Tiān). Tiān itu
tidak berbentuk atau berimej. Bagi orang Tionghoa, adalah sangat
berat/sukar membayangkan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu memiliki bentuk,
misalnya Yesus. Bahkanpun jika Yesus memang merupakan Perwujudan dari Tuhan
Yang Maha Kuasa, mengapa orang Tionghoa harus bersusah-payah menyembah tubuh
Tuhan, sementara orang Tionghoa telah dinaungi/dilingkupi oleh roh/spirit
dari Tuhan ?.
Kedua : Baik Khonghucuisme maupun Taoisme keduanya merupakan
agama transenden yang mengangkat manusia mencapai Kesucian/Kenabian
(Khonghucuisme) maupun Keabadian (Taoisme). Munculnya kebaikan dan
kejahatan telah dijelaskan dalam doktrin moral menduduki kursi di
atas. Jadi, orang Tionghoa tidak dapat mengerti konsep dosa asal, apalagi menjadi seorang
pecundang. Jika kita menunduk kepala, demi langit, mari coba, coba dan cobalah
untuk memperbaiki diri kita sendiri, Tuhan hanya menolong orang yang mau
menolong dirinya sendiri. Jadi, walaupun Buddhisme asalnya adalah semacam agama
yang mencari penyelamatan (lebih tepat pelepasan, pen), tapi Buddhisme yang
telah mengalami pen-Tionghoaan (misalnya Tiāntái 天台, Zen/Chán禪, Maitreya 彌勒佛, dll.) semuanya telah menjadi agama-agama yang transenden.
Selanjutnya
terdapat perbedaan besar pada bagaimana keselamatan itu diperoleh dalam Buddhisme
dan dalam Kekristenan. Dalam Buddhisme, keselamatan (yakni pelepasan) hanya dapat diperoleh
setelah hidup dalam sekali kehidupan (bahkan mungkin lebih dari sekali) yang
dipenuhi moral yang baik. Sementara itu, keselamatan Kristen dapat diperoleh
dengan segera/seketika dengan jalan menerima seorang juru selamat.
Kebanyakan orang Tionghoa tidak akan dapat menerima makan siang gratis semacam
ini. Tidak saja orang Tionghoa tahu bahwa hal ini tidak akan menjadi kenyataan,
tapi ia tetap tak akan mengambil keselamatan seperti itu, walaupun gratis.
Orang Tionghoa ingin keselamatan jiwa yang diperoleh dengan cara
dibayar/diperjuangkan.
IX. Suatu Agama Besar Bagi Umat Manusia.
Dalam
Khonghucuisme, teori Lima Pergerakan (Wǔxíng 五行, atau Lima Unsur) mirip dengan Fisika
Partikel Dasar Moderen. Apabila teori Yīn-Yáng (陰陽)
dan Bāguà (八卦)
digabungkan dengan “Simulasi Kehidupan dari John Conway”, maka
gabungan itu akan dapat menjelaskan kehidupan makhluk hidup, dan gabungan
ini lebih maju daripada fisika dan biologi moderen. Untuk detail selanjutnya,
silahkan anda periksa buku saya “The Divine Constitution”
Teologi Mìng-mìng menjelaskan
sifat sejati dari Tuhan Yang Maha Kuasa, hubungan antara Tuhan dan manusia,
serta arti kehidupan manusia itu. Teologi ini merupakan sistim yang lengkap,
artinya tidak menyisakan pertanyaan/keraguan. Pada satu sisi doktrin
moral menduduki kursi menjelaskan munculnya kebaikan dan kejahatan,
dan pada sisi lainnya memberikan harapan pada kemungkinan manusia untuk menjadi
lengkap/sempurna.
Lembaga
Khonghucuisme terdiri dari pemerintahan dan setiap keluarga di Tiongkok. Setiap
orang Tionghoa lahir, hidup dan mati dalam lembaga ini. Jadi, bukan saja
Khonghucuisme adalah suatu agama, bahkan suatu agama besar bagi umat manusia.
X. Tadkir Umat Manusia.
Jika
anda (=orang Barat, pen) belum pernah mendengar teologi Mìng-mìng serta doktrin
moral menduduki kursi, maka sebaiknya anda duduk sebentar dan
merenung. Tiongkok telah ada sejak ribuan tahun, dan pertemuan Timur-Barat
telah terjadi sejak 1300 tahun lalu. Namun pihak Barat masih saja tetap
sepenuhnya bersikap masa-bodoh terhadap kebudayaan dan cara berpikir orang
Tionghoa (khususnya Khonghucuisme, pen).
Pada
abad nuklir ini, kekurangan saling-pengertian yang besar seperti ini, baik
antara negara maupun masyarakat kedua pihak tidak saja berbahaya tapi merupakan
mimpi buruk bagi umat manusia. Khonghucuisme bukanlah agama misionaris (untuk
disebarkan, pen).
Orang
Tionghoa tidak mempunyai maksud merubah seseorang untuk menjadi berbudaya
Tionghoa, apalagi menganeksasi/mencaplok negara lain menjadi teritorial/daerah
Tionghoa. Kenyataannya yang terjadi adalah: semua daerah/negara yang telah
mengalami proses pen-Tionghoaanlah yang telah men-Tionghoakan diri mereka sendiri.
Catatan: Artikel ini telah dibawakan dalam dua
konferensi:
1.Ninth Biennial Meeting of URAM, August
1997, at University of Toronto, Canada.
2.The 10th International Conference for
Chinese Philosophy, July 1997, at Dongguk University, Seoul, Korea.
Catatan Penerjemah: Artikel ini diterjemahkan
secara bebas pada medio Nopember 2003 oleh Lin Changqi. Pada bulan Agustus 2012 ketika mengecek ke internet,
ternyata artikel ini telah mengalami sedikit perubahan (termasuk pada judulnya),
maka terjemahan yang ini telah mengalami sedikit penyesuaian mengikuti versi
perubahannya pula. Beberapa term Tionghoa
yang awalnya ditulis oleh penulisnya dengan transliterasi bebas telah diubah oleh
penerjemah dengan menggunakan sistem transliterasi Bahasa Tionghoa resmi Hànyǔ
Pīnyīn (漢語拼音). Kemudian, untuk maksud memperjelas arti term-termnya, pada
terjemahan versi penyesuaian ini telah diberikan penambahan aksara-aksara
Tionghoanya oleh penerjemah.
Sebagai info akhir, ini tentang
profil Dr. Jeh-Tween Gong yang disarikan dari beberapa artikel dan
situs Internet yang berhubungan dengan banyak karya tulis beliau:
Dr.
Jeh-Tween Gong seorang Ilmuwan serba bisa, lahir di Taipei-Taiwan pada 24
Pebruari 1950, tahun 1975 datang ke USA. Beliau adalah Bachelor of Science lulusan
Universitas Chung-Yuan di Kota Chung-Li Taiwan pada 1972, Jebolan MSc dari Taiwan
National University Taipei 1974, dan
Doktor Filsafat dari TNU Taipei pada 1978.
Pernah menjabar sebagai Profesor di Universitas itu. Kiprah di USA sekarang
sebagai anggota dan Penasehat beberapa Asosiasi ilmu serta juga Asosiasi Filsafat
di USA. Kini sebagai seorang President di Chinese Etymology Institute. (----ovoqomo----)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar