Rabu, 30 Maret 2016

Confucianism The Great Religion of Mankind

Berikut ini saya sharing terjemahan atas artikel Confucianism: The Great Religion of Mankind, yang ditulis oleh Jeh-Tween Gong:

KHONGHUCUISME AGAMA BESAR BAGI UMAT MANUSIA
(Confucianism, The Great Religion of Mankind, by: Tienzen (Jeh-Tween) Gong (龔天任), 1994)


Abstrak : Tidak hanya sebagian besar orang Barat yang memandang Khonghucuisme sebagai suatu falsafah, bukan agama, namun banyak orang Tionghoapun (baik di masa lalu dan masa kini) berpandangan demikian. Namun dalam 2000 tahun belakangan ini, tak ada satu agama asing (luar) manapun yang sungguh-sungguh sanggup menaklukkan kebudayaan Tionghoa. Kini tidak ada agama Buddha di India, tempat lahirnya agama ini. Meskipun terdapat banyak kuil Buddhis di Tiongkok, namun sembilan puluh persen daripada masyarakat yang dikenal sebagai Buddhis ini juga melakukan persembahyangan dalam bentuk tradisi Tionghoa. Alih-alih menaklukan kebudayaan Tionghoa, Buddhisme malahan telah mengalami pen-Tionghoaan. Dalam kurun 300 tahun lalu, sebagian besar orang Barat menganggap bahwa manusia Tionghoa bukanlah orang yang religius. Kini, banyak ahli teologi menganggap bahwa di dunia ini orang Tionghoa pada kenyataannya adalah orang yang amat religius.    Akan tetapi, Tuhan yang bagaimana yang disembahyangi oleh orang Tionghoa? Makalah ini akan memberikan jawaban yang tuntas.


I. Sejarah Singkat.
Buddhisme tidak lagi merupakan agama yang hidup/berkembang di India. Orang Tionghoalah yang memelihara Buddhisme aliran Mahayana dalam tradisi kehidupannya. Banyak kitab Mahayana diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa oleh Kumarajiva (344-431 M), seorang tokoh yang terdidik di Afghanistan. Takkala kemasyurannya sebagai seorang sarjana kitab-kitab mencapai halaman istana Tiongkok, pemerintah dengan sengaja/tertulis merencanakan penculikannya. Ia lalu dibawa ke ibukota Cháng-ān (長安) pada tahun 402 M, dan di sana beliau  dihargai dengan gelar guru pembimbing nasional.  Juga pada era tahun 600-an M, ketika suku bangsa asli Inggris dan Jerman masih belum menjadi Kristen, seorang biarawan Nestorian Alopen tiba di kota Chang-an. Ia diterima dengan terhormat oleh Kaisar kedua dinasti Táng () yakni Kaisar Táng Tàizōng (唐太宗 atau Lǐ Shìmín 李世民, 599 M -- 649 M, pen). Sebuah biara kemudian dibangun untuknya yang kemudian diikuti oleh pembangunan biara-biara lainnya di mana-mana.
Kedua kejadian bersejarah di atas memperlihatkan kepada kita dua kenyataan, yakni bahwa: tidak saja orang Tionghoa bertoleransi terhadap bermacam-macam agama, akan tetapi mereka juga rindu akan kebenaran agama-agama. Pada tahun 1692 kaisar keempat dinasti Qīng () yakni Kaisar Kāng Xī康熙, 1654 M --1722 M, pen) juga mengeluarkan suatu dekrit tentang toleransi bagi Kekristenan.
Di lain pihak, di Roma pada tahun 1700-an, Pope (Paus) Clemet XII  melarang orang Tionghoa Kristen untuk menghormati leluhurnya serta kepada Kǒngzi (孔子). Pada tahun 1701, Kaisar Kāng Xī mengirim utusan khusus ke Roma untuk mengklarifikasikan bahwa di Tiongkok Kǒngzi dihormati bukan sebagai dewa melainkan sebagai seorang guru, sedangkan penghormatan kepada leluhur adalah merupakan peringatan bukanlah suatu tindakan pemujaan.
Pada tahun 1710, akibat keberatan kepadrian/kependetaan Tionghoa wakil Paus serta oleh kaum Jesuit kepada Paus, maka suatu badan penyelidikan di Roma mengeluarkan lagi dekrit baru dalam rangka melarang ritus-tata cara beribadah orang Tionghoa Kristen, dengan kata lain pihak Roma melarang orang Tionghoa Kristen untuk menjadi/beradat-istiadat Tionghoa (inilah pandangan kaum Dominikan yang disetujui Paus, pen). Sebagai reaksinya, pada tahun 1717 sembilan penguasa pengadilan tertinggi di Tiongkok melancarkan aksi pengusiran terhadap para misionaris, pengasingan Kekristenan, perusakan gereja, dan pemaksaan kepada rakyat agar menjauhi keyakinan Kristen. Pada tahun 1939 (jadi nanti setelah 200 tahun lebih, pen), barulah Pius XII akhirnya mengeluarkan dekrit dalam mentoleransi kegiatan orang Tionghoa melakukan penghormatan kepada leluhurnya. Namun, hal ini kiranya sudah terlambat.
Mengapa ? Setelah 1300 tahun sejak pertemuan pertama orang Tionghoa dengan orang Kristen Nestorian, ternyata hanya ½ (setengah) % orang di daratan Tiongkok yang memeluk agama Kristen. Akan tetapi, ketidak-beruntungan Kekristenan di Tiongkok tidak seluruhnya dikarenakan oleh tindakan pemerintah komunis yang pada tahun 1950-1951 telah mengeluarkan para misionaris asing. Argumen ini didukung pula oleh kasus yang terjadi di Táiwān (台灣). Walaupun adanya penyusupan orang dalam jumlah yang besar,  juga uang dan waktu yang dihabiskan, serta meski adanya kegiatan para misionaris yang tak terbendung selama 40 tahunan, ternyata hanya 3 (tiga) % orang Táiwān yang menjadi Kristen, itupun sebagian besar populasi orang Kristen Táiwān itu adalah dari penduduk asli/aborigin (pen: bukan etnis asli Tionghoa).

Jadi faktanya adalah: kekristenan telah secara menyedihkan gagal berkiprah di daerah/area yang telah mengalami proses pen-Tionghoaan (antara lain juga Jepang, Korea, Singapura, dan di daerah-daerah yang memiliki komunitas Tionghoa perantau). Jadi keadaan politik bukanlah faktor utama yang menyebabkan kegagalan mereka pada daerah-daerah yang telah mengalami pen-Tionghoaan tersebut, akan tetapi yang lebih utama disebabkan karena cara kerja mereka.
Selama 400 tahun, kebanyakan para sarjana yang mengkhususkan dirinya dalam suatu atau beberapa aspek kebudayaan tradisional Tionghoa kemudian memberikan suatu jawaban singkat atas kegagalan di atas, yakni bahwa orang Tionghoa tidak religius.
Pada tahun 1958, empat orang sarjana Tionghoa mengeluarkan suatu Manifesto untuk Penilaian Kembali Bidang Ilmu Ketionghoaan dan Rekonstruksi Kebudayaan Tionghoa, mereka kemudian menegaskan bahwa Khonghucuisme memang memiliki dimensi religius, walaupun mungkin tidak dapat disebut sebagai agama asli/murni. Banyak sarjana Barat bahkan menertawakan penegasan itu. Baru pada beberapa tahun belakangan sajalah terlihat bahwa beberapa ahli teologi Barat mulai mengakui bahwa kebudayaan Tionghoa (apapun bentuknya) merupakan sistem sungai religius besar di samping aliran Nubuat-Kristen dan Kebathinan-India (dan Islam tentunya, pen). Akan tetapi mereka (ahli  Teologi Barat) tetap tak dapat menentukan pada titik mana sungai itu berada, apalagi sampai memahami/mengetahui seberapa dalam dan lebar sungai itu.


II. Apakah Agama itu ?
Kekeliruan para sinolog Barat adalah karena mereka berusaha menggunakan istilah-istilah (terms) Barat untuk menjelaskan konsep orang Tionghoa. Hal ini sama saja dengan berusaha menjelaskan keseluruhan sistem matematika dengan not-not musik. Jika ini dilakukan maka mereka tentu akan sangat heran ketika menemukan/melihat bahwa sistem matematika tidak sanggup dijelaskan dengan not-not musik. Kemudian mereka akan menegaskan suatu penemuan besar bahwa keseluruhan sistem matematika itu tidak memiliki substansi/hakekat.
Bagi orang Barat, setiap agama paling tidak harus memiliki tiga dari empat komponen sebagai berikut:
1.      Tuhan sang pencipta,
2.      Institusi/lembaga yang terlihat (berupa: kuil, gereja, kependetaan, dlsb.),
3.      Kumpulan orang percaya dan yang diakui/dikenal,
4.      Beberapa pengetahuan esoterik (diketahui secara terbatas oleh beberapa orang saja, pen) tentang nubuat atau kegaiban, yang tak dapat diuraikan (dijangkau) oleh ilmu pengetahuan.
Dengan definisi di atas, mereka kemudian dengan yakinnya menyebut Buddhisme sebagai Atheis. Kemudian juga, dengan tanpa pemahaman yang cukup terhadap Taoisme, mereka menyebut Taoisme sebagai Pantheisme (singkatnya menganggap alam sama dengan Tuhan, pen). Dan lagi-lagi, tanpa pengertian yang benar tentang Khonghucuisme, mereka dengan terlalu berani mencapnya sebagai suatu humanisme belaka (falsafah tentang kemanusiaan saja, pen) bukan agama.
Kalau begitu bagaimanakah definisi agama itu ?
Tiap agama harus memiliki tiga komponen berikut ini:
1.      Pencipta yang melahirkan (atau: suatu teori kosmologi (teori asal usul Jagat Raya) yang menjelaskan kemunculan/ kelahiran dari:
-          Alam semesta,
-          Kehidupan makhluk hidup/biologi,
-          Akal sehat/intelegensi/kecerdasan, (walaupun kisah tujuh hari penciptaan dunia dalam kitab Kejadian Kristen secara utuh tidak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan/akal sehat, akan tetapi oleh orang Barat hal itu tetap dipakai sebagai kosmologi/teori penjadian sampai saat ini).
2.      Suatu  metafisika yang menjelaskan tentang :
-          Hubungan antara sang pencipta (atau penciptaan itu sendiri) dengan kehidupan manusia,
-          Arti/maksud daripada kehidupan manusia,
-          Munculnya hukum-hukum moral.
3.      Ada sekelompok orang yang hidup dalam jalan/cara hidupnya (mencakup: kehidupan perorangan, kemasyarakatan atau kepemerintahan) menurut doktrin mereka (yakni ada penganutnya, pen).


III. Kosmologi (Teori Penjadian) secara Khonghucu.
Dengan definisi baru di atas, saya dapat memperlihatkan bahwa Khonghucuisme adalah agama besar bagi umat manusia, walaupun ia tidak memiliki Tiān /Tuhan yang dikonkretkan/diwujudkan (dalam Khonghucuisme Tiān () dipahami sebagai tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berbicara, pen) juga walaupun ia tidak memiliki kelembagaan yang nyata (rupanya saat menulis naskah ini penulis mungkin belum mengenal adanya Matakin dan beberapa institusi Khonghucu lain, misalnya di Hongkong, Singapura dan Korea, pen).  Khonghucuisme tentu saja memiliki suatu teori kosmologi atau teori penjadian yang menjelaskan kelahiran alam semesta (jagad raya) serta kehidupan makhluk hidup. Dikatakan dalam kosmologi Khonghucu: Wújí (無極)  melahirkan Tàijí (太極), kemudian Tàijí melahirkan Liăngyí (兩儀, yaitu Yīn () dan Yáng ()). Yīn dan Yáng  melahirkan Bāguà ( , 8 trigram). Selanjutnya 64 Guà (六十四卦, 64 heksagram) tercipta. 64 heksagram ini melingkupi/mewakili keseluruhan alam semesta.
Istilah-istilah di atas dipahami oleh orang Tionghoa kuno, namun sayang tidak memiliki arti bagi orang Tionghoa yang mempelajari ilmu pengetahuan moderen, yakni sains. Istilah-istilah Wújídan Tàijí itu kurang dapat terdefinisikan dan tidak memiliki arti saintifik. Maka, pada awal abad 20 (tanhun 1920-an) Khonghucuisme telah dituduh sebagai penyebab kemunduran Tiongkok juga dituduh sebagai penyebab negara ini tidak mampu mengembangkan sains. Jika Kosmologi Khonghucu hanya suatu omongan tanpa arti, maka tentu Khonghucuisme tidak akan menjadi suatu falsafah yang unggul, biarkan ia menjadi agama saja.
Telah saya tulis dua artikel untuk membuktikan bahwa:
1.    Teori Wǔxíng (五行, Lima Pergerakan atau Lima Unsur) serupa dengan teori Fisika Partikel Dasar Moderen. (catatan: sebagian orang tidak dapat menerima bahwa tori Wǔxíng adalah bagian Khonghucuisme, ini akan menjadi bahasan tersendiri).
2.    Dengan menggabungkan Bāguà dengan Simulasi Kehidupan dari John Conway, maka misteri kehidupan makhluk hidup akan dapat dimengerti.
Untuk pemahanam yang lebih lengkap tenteng kosmologi Khonghucu Harap membaca dua tulisan saya yang berikut:
·                     Daoism in the Eyes of Modern Physics” (yang disajikan pada “Association for the Unity and Integration of Knowledge” di Kanada pada bulan Juni 1995 serta pada suatu Konferensi Internasional Filsafat Tionghaa yang diadakan bulan Juli 1999 di Táiběi Táiwān),
·                     Laws of Live in Daoism” (diterbitkan pada bulan Maret 1994).
Melalui pemaparan dalam kedua artikel di atas kosmologi Wújí dan Tàijí  dalam Kitab Yìjīng (易經) bukan lagi suatu omongan tanpa arti, namun ia isomorf dengan fisika moderen dan kosmologi moderen. Kosmologi ini tentu saja adalah kosmologi yang unggul bagi suatu agama besar.


IV. Metafisika Khonghucuisme.
Khonghucuisme memiliki suatu metafisika lengkap yang dapat menjelaskan arti kehidupan manusia. Kata lengkap di atas bukanlah dimaksudkan sebagai kebenaran belaka, melainkan bahwa sistem ini adalah suatu sistem yang utuh/cermat (inggris: closed system), sehingga tidak menyisakan/menimbulkan pertanyaan (pen: keraguan).  Metafisika ini terdiri dari lima kata (atau konsep) yakni: Mìng (, lengkapnya Tiān-Mìng ),  Dào (),   (),  Shù ( jumlah atau angka dari ), serta mìng (, lengkapnya Rénmìng  人命).   
Tiān () memiliki  2 pengertian :
1.      Secara fisik ia menunjukkan langit (inggris : sky),
2.      Secara teologi kata itu menunjuk kepada Tuhan Yang Utuh, Tidak berbentuk, Pemberi Takdir Yang Maha Cermat, serta Personal/Pribadi. Ketika Yán Huí (顏回, seorang murid utama Kǒngzi) meninggal, Kǒngzi meratap: ‘Tiān () telah meninggalkan saya, Tiān telah mendukakan saya ’, lihat Kitab Lùnyǔ ( , pen: yang diterjemahkan sebagai ‘Kitab Sabda Suci’ oleh Matakin).
Ming memiliki banyak arti :
1.      Secara fisik ia berarti hidup/kehidupan,
2.      Secara teologi ia memiliki  dua arti :
-       Kehendak (atau memberikan/menurunkan mandat/kuasa),
-       Takdir atau Nasib.
Tiānmìng berarti Kehendak Tuhan, yang memberikan kelahiran bagi semua, termasuk di dalamnya xìng (, sifat asli, watak asli/murni manusia, atau watak sejati manusia), serta Dào ().
Dào () adalah prinsip/hukum yang menguasai makrokosmos dan mikrokosmos. Dào ada di mana-mana, baik transenden (jauh) maupun imanen (dekat). Dalam Khonghucuisme, Dào lahir dari Tiānmìng.  Taoismenya Lǎozi (老子) tidak menyajikan konsep tentang Tiāatau Tiānmìng. Konsep Ketuhanan Taoisme Lǎozi mengemukakan Tuhan yang tidak-pribadi, acuh dan apatis. Karena sifat pengabaian/pasif ini, maka tidak ada gunanya meminta belas kasihan kepada-Nya. Bila kita hidup/bekerja menentang Dào yang pasif ini, maka kita akan gagal dalam kekecewaan.
Wúwéi  (無為) menjadi titik pusat Taoisme Lǎozi. Banyak sarjana mengartikan Wúwéi secara harafiah sebagai: tidak berbuat. Sebenarnya Wúwéi tidaklah berarti tidak berbuat apapun. Bagaimanapun seseorang harus hidup/bergerak, paling tidak untuk mengunyah makanannya sendiri. Sebenarnya Wúwéi bermakna janganlah kita melakukan sesuatu untuk menolong/mengusahakan sesuatu (yang tidak akan berguna) atau bertindak/aktif melakukan sesuatu kerja yang menentang (yang akan membahayakan) Dào.  Walaupun alam semesta yang dinamis ini bekerja tunduk pada prinsip Dào, tapi Dào itu sendiri tidak memberikan kehidupan pada alam semesta yang dinamis itu. Alam semesta yang dinamis ini adalah akibat/hasil kerja dari fenomena (pen : perwujudan atau gejala alam)  ().
 () memiliki banyak arti :
1.      Secara fisik ia berarti udara atau napas,
2.      Secara metafisika ia berarti gaya dinamis atau proses dinamis.
Qì memiliki tiga bentuk :
Dalam bentuk asalnya tetap disebut sebagai “”, yang bermakna : gaya mengalir yang tak terlihat. ini dapat mengental/memadat dan menjadi zat/benda (zhì ) yang bersifat terlihat dan nyata. yang murni disebut Jīng (, saripati).   dapat naik dan menjadi Shén (, spirit/jiwa/roh).  Jadi keseluruhan isi jagad raya/alam semesta ini  (baik material maupun spiritual) terdiri dari Jīng (zhì) – – dan Shén.   Apabila ada orang Tionghoa berkata : ‘Ia memiliki Qìzhì (氣質 temperamen/watak, kwalitas) yang bagus’, hal ini tidak saja berarti memiliki tubuh (zhì) yang indah tapi ia juga memiliki atmosfir () yang baik di sekeliling tubuhnya. Demikian pula kalau dikatakan : ‘Jīngshén (精神 spirit, vitalitas) saya bagus’, hal ini tidak saja berarti tubuh saya sehat, tapi roh/jiwa saya juga sehat/kuat.
Oleh karena  bermakna  gaya dinamis, zat dan roh, maka seharusnya ia dapat diukur dengan suatu kuantitas atau suatu angka.
Pengukuran daripada  ini dikenal sebagai Shù (, kuantitas atau angka).
Shù () memiliki dua arti :
1.      Secara matematis ia berarti angka atau kuantitas,
2.      Secara metafisika ia berarti jumlah/nilai dari pada  /Daya Hidup/Spirit/Roh.
Ketika Shù dari  (yakni Qìshù) suatu kehidupan bernilai nol, maka itu berarti kematian. Jika seseorang memiliki Qìshù yang baik, ia akan memiliki masa depan yang baik, mungkin juga berarti peruntungan yang bagus. Sehingga andai kita mengetahui bahwa Qìshù kita bagus, kita akan tahu masa depan kita bagus pula, inilah yang dikenal sebagai takdir atau nasib.
Qìshù manusia berasal dari dua sumber:
Qì Asal (yakni Yuánqì 元氣) datang bersama kita takkala kita lahir.
Konsepsi Yuánqì daripada Khonghucuisme dan Taoisme jelas berbeda. Dalam KhonghucuismeYuánqì tak dapat dilatih/diolah/dibina (Xiū , pen) – artinya: banyaknya Yuánqì ditentukan sejak lahir, dan akan tetap seperti itu, tidak akan berkurang atau bertambah. Di lain pihak, Lǎozi bersikeras bahwa Yuánqì dapat dilatih/diolah, sehingga tidak saja bahwa seorang dapat tetap menjadi muda dengan cara meremajakan ketuaannya, namun juga seorang dapat mencapai kekekalan/keabadian.
Walaupun dalam Khonghucuisme Yuánqì tak dapat dilatih/dibina, tapi  yang Mengendalikan Kehidupan Kita dapat dilatih/diolah. Kita dapat mencoba meluruskan  kita dengan Kebajikan-kebajikan Tuhan (Rén Yì Lǐ Zhì 仁義禮智), sehingga kemudian manusia dapat mencapai tingkat kebijaksanaan (inggris: sagehood; bahasa Tionghoa: shèng  kenabian/kesucian, pen).
Dalam Taoisme Lǎozi, tidak ada paham Tuhan (Tiān) sebagai pemberi nasib baik serta kehendak-Nya (Tiān-Mìng), pengikut Taoisme Lǎozi percaya bahwa mereka dapat mencapai keabadian melalui kultivasi/pengolahan/latihan/peningkatan Yuánqì. Jadi mereka tidak dapat dihalangi atau dihentikan oleh nasib/takdirnya. Atau dengan kata lain, pengikut Taoisme Lǎozi dengan sederhana menolak adanya nasib atau takdir dalam diri seseorang.
Sebaliknya, oleh karena adanya Tuhan yang ‘personal’ (yakni Tiān), maka kehendak Tuhan (Tiān-Mìng) akan menentukan nasib dan takdir tiap orang. Nasib dan takdir pada tiap orang inilah yang disebut mìng (huruf ‘mìng’ yang sama dengan huruf ‘Mìng’ dalam kata ‘Tiān-Mìng’). Metafisika Lǎozi dalam Taoisme tidak memiliki kepala (yakni Tiān-Mìng, kehendak Tuhan) maupun ekor (yakni mìng perorangan, atau takdir/nasib). Di lain pihak sistim Metafisika Khonghucuisme adalah lengkap/cermat : dari Tiānmìng menuju ke DàoDào menuju ke  menuju ke Shù, lalu Shù menuju ke mìng. Jadi sistim ini menghubungkan takdir (mìng) setiap orang itu  kembali kepada Kehendak Tuhan (Tiān-Mìng).  Meskipun takdir seseorang tak dapat diubah oleh usaha orang itu sendiri, namun tiap orang tetap dapat melengkapi hidupnya hingga mencapai taraf kebijaksanaan (pen: kesucian), dan membuat hidupnya menjadi lebih berarti, tidak saja bagi dirinya tapi juga bagi umat manusia.
Sejauh ini amatlah sedikit orang Barat yang pernah mendengar konsep teologi Mìng-mìng, dikarenakan para sarjana Tionghoapun (dari masa lampau sampai kini) kurang mengerti akan konsep teologi tersebut.  Konsepsi  terutama dihargai dan dipraktekkan oleh para praktisi ilmu beladiri. Sedangkan konsepsi Shù dan mìng diyakini oleh tiap orang Tionghoa yang tak berpendidikan (rakyat kebanyakan, bukan para sarjana-kitab, pen). Para sarjana-kitab Tionghoa (terdidik) masa lampau mengejek/memandang rendah konsep Shù dan mìng. Sedangkan para sarjana-kitab Tionghoa terdidik masa kini memandang konsep Shù dan mìng sebagai ketakhyulan. Akan tetapi bukanlah maksud saya untuk menciptakan teologi Mìng-mìng ini. Karena sesungguhnya teologi ini dipahami oleh setiap orang Tionghoa yang tidak terdidik. Walaupun anda tidak akan menemukan teologi Mìng-mìng ini dalam bentuk buku-tertulis (baik dalam buku berbahasa Tionghoa atau bahasa lain) serta dalam bentuk doktrin yang terorganisasi, namun konsep ini dapat ditemui dalam banyak novel/cerita rakyat. Sebagi contoh novel-novel berjudul: “The Brotherhood in the Marsh” (Shuǐ hǔ Zhuàn 水滸傳, pen), The Dream of a Red Mansion” (Hónglóu Mèng 紅樓夢, pen), serta “The List of Ordained gods” ( Fēngshén Bǎng 封神榜 atau Fēngshén Yǎnyì 封神演義, pen). Konsep Mìng-mìng muncul dalam hampir semua halaman novel “The List of Ordained gods”. Akan saya tunjukkan hal tersebut pada tiga bagian cerita dalam novel tadi. 
Ketika kaisar terakhir dinasti Shāng (, yakni Zhòu Wáng 紂王, pen) berdasarkan tradisi (setelah pelantikannya, pen) menuju suatu kelenteng untuk menghormati seorang dewi (Dewi  Nǚ Wā 女媧, pen),  jiwa/roh sang dewi sedang naik ke langit untuk suatu urusan. Sang kaisar melihat patung sang dewi, dan timbullah kekaguman yang amat mendalam terhadap kecantikan sang dewi, maka ditulislah di dinding kuil seuntai sanjak pujian kekaguman bagi sang dewi. Setelah sang dewi kembali ke kelenteng, dilihatnya sanjak itu dan merasa terhinalah ia. Sang dewi ingin segera membalas penghinaan itu. Ketika ia naik awan yang membawanya ke istana sang kaisar, ia melihat bahwa Qìshù sang kaisar masih begitu besar (masih begitu mampu bertahan berkuasa, pen)Meskipun sang Dewi memiliki kekuatan gaib yang hebat, namun ia tak sanggup merubah Qìshù sang raja yang telah diberikan/ditetapkan Tuhan yang Maha Kuasa (Tiān). Setelah kembali ke kelentengnya, sang dewi kemudian merencanakan untuk menguras Qìshù sang kaisar, namun ia tetap tak mampu mencapai itu. Kejadian ini merupakan awal kisah novel itu.
Pada bagian pertengahan novel itu, para pembaca secara perlahan-lahan akan menyadari bahwa seluruh alur cerita sang dewi ternyata telah ditulis dari semenjak jaman yang lama sekali oleh tiga patriak/tiga pemimpin (yang berasal dari tiga aliran/pendidikan yang berbeda,--> sān jiàozhǔ 三教主, pen). Tindakan spontan yang dilakukan dengan bebas baik oleh kaisar maupun oleh sang dewi, merupakan hal yang tak terelakkan oleh/akibat dari  takdir mereka. Pada suatu sisi,  keseluruhan isi cerita novel itu dimainkan di masa itu dengan bebasnya oleh ratusan pemeran/karakter, namun pada sisi lainnya, semua mereka yang berperan, ternyata mengikuti tulisan/naskah yang sudah ada, kata demi kata, koma demi koma dan masa demi masa.   Tapi pada bagian akhir novel itu,  suatu keganjilan terjadi, yaitu bahwa ternyata ketiga patriakpun tertarik/masuk kedalam konflik yang terjadi dalam cerita itu. Mereka tidak lagi merupakan penulis naskah atau sutradara cerita, melainkan juga sebagai aktor cerita itu. Mereka tak dapat lagi sanggup mengarahkan/menentukan kejadian apa yang selanjutnya bakal terjadi.

Novel yang sangat populer itu dengan jelas menunjukkan kepada kita ketiga konsep teologi yang  penting dalam Khonghucuisme, yakni :
1.      Teologi Mìng-mìng,  yaitu takdir semua orang ditentukan oleh Kehendak Tuhan.
2.      Setiap Para Suci (dewa, dewi atau patriak), yang  dapat  dibayangkan/diciptakan oleh pikiran manusia sehingga mereka memiliki gambar/image, tak peduli seberapa hebat kekuatan bathin/gaibnya, semuanya tak dapat menentukan takdirnya. Ini berarti mesti ada Tuhan Yang Maha Kuasa yang berada di atas semua para suci ini.
3.      Oleh karena takdir manusia hanya berada dalam tangan Tuhan Yang Maha Pemurah, sang pemberi takdir, dan tak dapat diatur atau diarahkan oleh siapapun (baik ia hidup maupun mati), maka masa depan umat manusia tetap merupakan kemungkinan tidak menentu.


V. Timbulnya Kebaikan dan Kejahatan.
Sebelum kita dapat membahas bagaimana kebaikan dan kejahatan itu timbul, pertama-tama kita harus memahami apa kebaikan dan kejahatan itu.   Aristoteles dan para pengikutnya mengatakan bahwa kebahagiaan adalah baik. Tapi apakah kebahagiaan itu? ‘Kebahagiaan adalah kesenangan‘ kata mereka. Kemudian mereka membedakan/memisahkan antara kesenangan tingkat rendah dan kesenangan tingkat tinggi. Kesenangan intelek lebih diinginkan daripada kesenangan ragawi (sensual). Tapi, bagaimanakah menentukan apa yang lebih diinginkan itu? Seseorang yang gemar mengejar kesenangan ragawi, yang bahkan sampai melukai kesehatannya, akan mengatakan bahwa kesenangan ragawi lebih baik, sehingga akan terus mengorbankan kesehatannya sendiri dalam mengejar kesenangan ragawi baginya itu. Terhadap hal demikian, bagaimanakah kita memberikan argumen/alasan yang rasional untuk menjelaskan bahwa ia memiliki pandangan yang salah? bagaimana kita dapat menjelaskan kepadanya bahwa kesehatan itu lebih baik daripada kesenangan ragawi?
Para konsekuentialis membedakan antara “baik sebagai tujuan” dengan “baik sebagai cara/alat”, atau dengan kata lain “baik yang hakekat” dengan “baik yang semu”. Sehingga kesenangan ragawi hanya baik secara semu tapi pada hakekatnya buruk. Tapi di sinipun muncul pertanyaan, bagaimana kita membedakan dan menentukan bahwa sesuatu itu memang merupakan hakekat atau hanya semu?  Kebaikan itu berhubungan dengan sekumpulan sifat-sifat, namun tidak ada satupun sifat-sifat ini yang perlu atau cukup bagi kebaikan.
Agustinus muncul dengan ide lain. Dengan kepercayaan dogmatisnya tentang Tuhan itu sempurna, ia menyimpulkan bahwa tidak mungkin ada kejahatan/setan manapun. Ia memberikan dua alasan, pertama: semua yang dalam pandangan manusia adalah jahat, ternyata memang adalah baik, terutama di mata Tuhan. Sebagai contoh: kalajengking tak saja sering membunuh/menyengat binatang tapi juga manusia, maka manusia akan menilai ia jahat. Tapi bagi sesama mereka ia baik. Kalajengking jantan baik bagi betina, dan sebaliknya. Kedua: ia berpendapat bahwa semua kejahatan adalah perusakan/perubahan dari sesuatu yang baik.   Pertanyaan yang tibul dari sana adalah: apakah yang dimaksud dengan perusakan itu? bagaimana perusakan bekerja?
Kebanyakan sarjana Tionghoa membicarakan kebaikan dan kejahatan dengan berlandaskan pada Xìng (pen:  sifat alamiah manusia, watak sejati manusia). Mèngzi (孟子, 372-289 SM) menegaskan bahwa watak sejati manusia itu baik adanya, sementara Xúnzǐ (荀子, 312-238 SM) bersikeras bahwa watak sejati manusia itu buruk. Doktrin kedua tokoh ini mencerminkan dua kutub ekstrim ajaran Raja Yáo (Táng Yáo 唐堯, kira-kira 4000 tahun lalu). Raja Yáo bersabda kepada penerusnya, Raja Shún (Yú Shún 虞舜, pen: memerintah tahun 2255 SM -- 2205 SM): ”Hati manusia senantiasa dalam keadaan goyah/tak stabil, hati Dào (Moral Idaman) sangatlah seksama/teliti. Ini berarti, Watak Sejati memiliki kedua benih kebaikan maupun kejahatan. Namun benih itu sendiri tidak akan berubah menjadi baik atau jahat.
Proses apakah yang memungkinkan timbulnya kebaikan dan kejahatan dari kemungkinannya (potensinya) itu ? Proses ini merupakan titik pusat kajian Kitab Yìjīng (易經, kitab Perubahan). Kata  ‘Yì’ dalam frasa Yìjīng memiliki tiga arti :
1.      Sederhana, mudah, gampang,
2.      Berubah, beralih, berganti,
3.      Tidak berubah (tidak bervriasi).
Mungkin anda heran dan kaget, bagaimana mungkin satu kata memiliki makna yang betentangan pada saat yang sama ? tapi ya..… , hal itu memang terjadi (eksis) dalam bahasa Tionghoa.
Kitab Yìjīng memandang dunia ini memiliki 2 (dua) bagian, yakni: suatu struktur kekal tak berubah (1) yang dilingkupi oleh suatu fenomena/gejala dinamis yang senantiasa berubah (2). Kebanyakan ahli Yìjīng menggambarkan Bāguà (八卦 8 trigram) dalam susunan Yīn ( garis terputus) dan Yáng ( garis utuh). Ini baru setengah benar. Setiap Trigram memiliki tiga posisidimana garis Yīn atau Yáng duduk. Kedudukan dan hubungan/pertalian daripada kedudukan ini adalah tetap, selamanya tidak berubah. Akan tetapi apakah suatu garis Yáng atau suatu Yīn yang duduk, itu selalu berubah-ubah. Dengan jalan yang sama, terdapat kedudukan dan cara yang wajar untuk menduduki suatu posisi dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika seorang jendral memenangkan suatu pemilihan untuk menduduki kursi presiden, maka ia melakukan hal yang baik. Namun jika ia melancarkan suatu kudeta untuk menjadi presiden, maka ia telah melakukan hal yang buruk, bahkan hal yang jahat. Kursi kepresidenan itu sendiri tidaklah baik atau jahat. Tapi bagaimana cara seorang mendapatkan kursi itulah yang menentukan apakah tindakannya baik atau jahat. Jadi, walaupun tidak ada baik atau jahat pada kursi yang kekal tak berubah ini (stuktur). Kebaikan  atau kejahatan itu muncul dari wajar/layak atau tak wajar/layaknya cara mendapatkan kursi itu.
Dalam Khonghucuisme, walaupun Xìng (sifat asli manusia, watak sejati) memiliki benih baik dan buruk, dan di sanalah hubungan yang wajar atau tak wajar yang melahirkan kebaikan dan kejahatan terjadi, akan tetapi bagaimanapun Khonghucuisme dengan begitu kuatnya menekankan untuk memelihara suatu tata-cara yang wajar dalam kehidupan manusia.

 VI. Mandat Langit / Kehendak (Perintah) Tuhan.
Dengan menggabungkan teologi Mìng-mìng dengan doktrin moral menduduki kursi di atas, hasilnya adalah konsep Tiān-Mìng (Mandat Langit/Kehendak Tuhan). Untuk memiliki suatu masyarakat yang baik-sempurna, cara duduk yang wajar/layak dalam semua aspek kemasyarakatan harus ditegakkan atau diatur oleh seseorang. Siapakah satu-satunya orang yang yang dapat menerima/memikul tanggung jawab yang amat agung ini ? Ia bukanlah orang sembarangan, namun haruslah seorang yang dipilih/diangkat dan ditugaskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (Tiān). Lama periode pemerintahannya tergantung pada seberapa banyak Qìshù yang diterimanya dari Tuhan. Ketika dia berbuat baik kepada rakyat, Qìshù-nya bertambah, kalau dia berbuat sebaliknya, Qìshù-nya merosot. Ketika Qìshù politisnya habis, maka masa kehidupan politisnyapun berakhir.  Karena pemimpin orang Tionghoa dipilih oleh Tiān, maka hanya Tiānlah yang dapat mengadili prestasinya atau bahkan mengganti pemimpin tersebut dari posisinya.
Namun bagaimanakah Tiān melaksanakan/melakukan pekerjaan ini? Tentu saja melalui hati dan kehidupan manusia (bukan melalui tangan dan mulut). Orang Tionghoa sangat meyakini bahwa hanya darah seorang yang benar/budiman yang dapat menaklukkan/mengalahkan perbuatan jahat,  hanya darah orang yang benar/budiman yang dapat menghabisi Qìshù seorang penguasa yang jahat/tiran.
 Dalam sejarah orang Tionghoa, terdapat banyak tokoh terkenal yang mengorbankan hidupnya untuk  memperbaiki/meluruskan kesalahan penguasa  (misalnya Qū Yuán 屈原, Guān Yǔ 關羽,Yuè Fē岳飛, dll., pen).  Bagi orang Tionghoa bicara itu mudah/biasa, sedangkan hidup itu berharga/mulia. Bila seseorang benar-benar memiliki sesuatu untuk dikatakan dalam dunia politik, katakanlah itu dengan kehidupan. Sehingga amat sedikit orang di Tiongkok yang bersimpati kepada seseorang seperti Wèi Jīngshēng 魏京生 seorang Tionghoa pembangkang-prodemokrasi yang pernah dipenjarakan pemerintah Tiongkok, karena menjelek-jelekkan Tiongkok ke dunia luar dengan isu-isu HAM, pen). Jika Wèi memang berada dalam kebenaran, itulah harga yang harus dibayar, dan harga yang dibayarnya itu pada gilirannya akan mengurangi Qìshù penguasa Tiongkok. Namun Bila Wèi seorang oportunis (yang hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, pen), maka  -pemenjaraan- itu merupakan hukuman yang memang pantas bagi Wèi.
Sangat jelas, orang Tionghoa 100 % percaya akan Tuhan dan Tuhanlah yang akan meluruskan semua ketidak-adilan. Orang Tionghoa tidak mau saling menyalahkan/menghakimi. Ketika negara-negara luar turut campur dan menghakimi orang Tionghoa, maka orang Tionghoa akan segera melihat/berpikir: bagaimana mungkin negara luar ini lebih tahu persoalannya daripada dirinya sendiri. Tentunya orang Tionghoa tak akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa ia kurang mengenal urusannya sendiri dibandingkan orang lain. Lantas akan jelaslah baginya bahwa kemungkinan orang luar ini memiliki maksud-maksud yang tak dapat diperkirakan. Jadi ketika negara-negara luar mempersalahkan pemerintah Tiongkok dengan isu-isu hak asasi, maka negara-negara asing ini akan mendapatkan efek baliknya. Kebanyakan orang Tionghoa akan mendukung pemerintahnya untuk menangkis/menolak maksud-maksud jahat negara-negara luar.
Jadi, aksi-aksi negara-negara lain seperti itu, paling tidak malah hanya akan memperbesar Qìshù pemerintah Tiongkok, dan kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya tidak ada seorangpun yang dapat membenarkan/memperbaiki kejahatan atau menyalahkan kebenaran pihak lain, sang pelaku sendirilah yang akan berhadapan dengan akibat perbuatannya itu.


VII. Lembaga yang Tidak Nampak.
Tidak ada gereja atau kuil yang nampak/terorganisir dalam Khonghucuisme (sekali lagi mungkin saat menulis tulisan ini penulis belum mengenal, -atau belum mau mengakui?-, Matakin dan atau organisasi Khonghucu lainnya di Hongkong, Singapura dan Korea, pen). Gereja Khonghucu adalah struktur moral yang menitik-beratkan/bertumpu pada lima hubungan (Wǔlún 五倫) yakni : pimpinan dan pembantu, orang tua dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, serta kawan dan sahabat. Tiga hubungan tadi berada dalam keluarga. Sehinggga dapatlah dikatakan Khonghucuisme hanya memiliki satu gereja (yakni pemerintah) serta jutaan kuil ( pada tiap keluarga). Keseluruhan orang Tionghoa percaya pada teologi Mìng-mìng dan hidup berlandaskan pada doktrin moral menduduki kursi, seperti yang dibahas di atas.


VIII. Alasan-alasan Mengapa Kekristenan Gagal di Tiongkok.
Secara teologi, banyak titik pandang dalam dogma Kristen yang berjalan bertentangan dengan mentalitas (pikiran bawah sadar kolektif) dan cara hidup orang Tionghoa. Saya akan tunjukkan dua yang paling nyata:  
Pertama : Orang Tionghoa memang menciptakan banyak dewa (tiga patriak, kaisar langit, dan lain lain). Semua dewa ini dapat berwujud, artinya dapat mempunyai bentuk/imej/wujud. Akan tetapi semua dewa ini berada - paling tidak- satu tingkat di bawah Tuhan (Tiān). Tiān itu tidak berbentuk atau berimej.  Bagi orang Tionghoa, adalah sangat berat/sukar membayangkan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu memiliki bentuk, misalnya Yesus. Bahkanpun jika Yesus memang merupakan Perwujudan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, mengapa orang Tionghoa harus bersusah-payah menyembah tubuh Tuhan, sementara orang Tionghoa telah dinaungi/dilingkupi oleh  roh/spirit dari Tuhan ?.   
Kedua : Baik Khonghucuisme maupun Taoisme keduanya merupakan  agama transenden yang mengangkat manusia mencapai Kesucian/Kenabian (Khonghucuisme) maupun Keabadian (Taoisme).  Munculnya kebaikan dan kejahatan telah dijelaskan dalam doktrin moral menduduki kursi di atas. Jadi, orang Tionghoa tidak dapat mengerti konsep dosa asal, apalagi menjadi seorang pecundang. Jika kita menunduk kepala, demi langit, mari coba, coba dan cobalah untuk memperbaiki diri kita sendiri, Tuhan hanya menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri. Jadi, walaupun Buddhisme asalnya adalah semacam agama yang mencari penyelamatan (lebih tepat pelepasan, pen), tapi Buddhisme yang telah mengalami pen-Tionghoaan (misalnya Tiāntái 天台, Zen/Chán, Maitreya 彌勒佛, dll.) semuanya telah menjadi agama-agama yang transenden.
Selanjutnya terdapat perbedaan besar pada bagaimana keselamatan itu diperoleh dalam Buddhisme dan dalam Kekristenan.  Dalam Buddhisme, keselamatan (yakni pelepasan) hanya dapat diperoleh setelah hidup dalam sekali kehidupan (bahkan mungkin lebih dari sekali) yang dipenuhi moral yang baik. Sementara itu, keselamatan Kristen dapat diperoleh dengan segera/seketika dengan jalan menerima seorang juru selamat.  Kebanyakan orang Tionghoa tidak akan dapat menerima makan siang gratis semacam ini. Tidak saja orang Tionghoa tahu bahwa hal ini tidak akan menjadi kenyataan, tapi ia tetap tak akan mengambil keselamatan seperti itu, walaupun gratis. Orang Tionghoa ingin keselamatan jiwa yang diperoleh dengan cara dibayar/diperjuangkan.


IX. Suatu Agama Besar Bagi Umat Manusia.
Dalam Khonghucuisme, teori Lima Pergerakan (Wǔxíng 五行, atau Lima Unsur)  mirip dengan Fisika Partikel Dasar Moderen. Apabila teori Yīn-Yáng (陰陽) dan Bāguà (八卦) digabungkan dengan “Simulasi Kehidupan dari John Conway”,  maka gabungan itu akan  dapat menjelaskan kehidupan makhluk hidup, dan gabungan ini lebih maju daripada fisika dan biologi moderen. Untuk detail selanjutnya, silahkan anda periksa buku saya “The Divine Constitution
Teologi Mìng-mìng menjelaskan sifat sejati dari Tuhan Yang Maha Kuasa, hubungan antara Tuhan dan manusia, serta arti kehidupan manusia itu. Teologi ini merupakan sistim yang lengkap, artinya tidak menyisakan pertanyaan/keraguan. Pada satu sisi doktrin moral menduduki kursi menjelaskan munculnya kebaikan dan kejahatan, dan pada sisi lainnya memberikan harapan pada kemungkinan manusia untuk menjadi lengkap/sempurna.
Lembaga Khonghucuisme terdiri dari pemerintahan dan setiap keluarga di Tiongkok. Setiap orang Tionghoa lahir, hidup dan mati dalam lembaga ini. Jadi, bukan saja Khonghucuisme adalah suatu agama, bahkan suatu agama besar bagi umat manusia.

X. Tadkir Umat Manusia.
Jika anda (=orang Barat, pen) belum pernah mendengar teologi Mìng-mìng serta doktrin moral menduduki kursi, maka sebaiknya anda duduk sebentar dan merenung. Tiongkok telah ada sejak ribuan tahun, dan pertemuan Timur-Barat telah terjadi sejak 1300 tahun lalu. Namun pihak Barat masih saja tetap sepenuhnya bersikap masa-bodoh terhadap kebudayaan dan cara berpikir orang Tionghoa (khususnya Khonghucuisme, pen).
Pada abad nuklir ini, kekurangan saling-pengertian yang besar seperti ini, baik antara negara maupun masyarakat kedua pihak tidak saja berbahaya tapi merupakan mimpi buruk bagi umat manusia. Khonghucuisme bukanlah agama misionaris (untuk disebarkan, pen).
Orang Tionghoa tidak mempunyai maksud merubah seseorang untuk menjadi berbudaya Tionghoa, apalagi menganeksasi/mencaplok negara lain menjadi teritorial/daerah Tionghoa. Kenyataannya yang terjadi adalah: semua daerah/negara yang telah mengalami proses pen-Tionghoaanlah yang telah men-Tionghoakan diri mereka sendiri.


Catatan: Artikel ini telah dibawakan dalam dua konferensi:
1.Ninth Biennial Meeting of URAM, August 1997, at University of Toronto, Canada.

2.The 10th International Conference for Chinese Philosophy, July 1997, at Dongguk University, Seoul, Korea.

Catatan Penerjemah: Artikel ini diterjemahkan secara bebas pada medio Nopember 2003 oleh Lin  Changqi. Pada bulan Agustus 2012 ketika mengecek ke internet, ternyata artikel ini telah mengalami sedikit perubahan (termasuk pada judulnya), maka terjemahan yang ini telah mengalami sedikit penyesuaian mengikuti versi perubahannya pula.  Beberapa term Tionghoa yang awalnya ditulis oleh penulisnya dengan transliterasi bebas telah diubah oleh penerjemah dengan menggunakan sistem transliterasi Bahasa Tionghoa resmi Hànyǔ Pīnyīn (漢語拼音). Kemudian, untuk maksud memperjelas arti term-termnya, pada terjemahan versi penyesuaian ini telah diberikan penambahan aksara-aksara Tionghoanya oleh penerjemah.  


Sebagai info akhir, ini tentang profil Dr. Jeh-Tween Gong yang disarikan dari beberapa artikel dan situs Internet yang berhubungan dengan banyak karya tulis beliau:
Dr. Jeh-Tween Gong seorang Ilmuwan serba bisa, lahir di Taipei-Taiwan pada 24 Pebruari 1950, tahun 1975 datang ke USA. Beliau adalah Bachelor of Science lulusan Universitas Chung-Yuan di Kota Chung-Li Taiwan pada 1972, Jebolan MSc dari Taiwan National University  Taipei 1974, dan Doktor Filsafat  dari TNU Taipei pada 1978. Pernah menjabar sebagai Profesor di Universitas itu. Kiprah di USA sekarang sebagai anggota dan Penasehat beberapa Asosiasi ilmu serta juga Asosiasi Filsafat di USA. Kini sebagai seorang President di Chinese Etymology Institute.  (----ovoqomo----)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar